11
Oktober.
The damned day.
Tengah
hari gue habiskan dengan mengikuti Technical
Meeting atas salah satu lomba debate yang gue iikuti. Usut punya usut,
tanpa sengaja, gue ketemu temen SMP. Karena, gue memang nggak tau bakal pulang
ama siapa, gue minta dia untuk pulang bareng.
Oke,
dia mau.
Setelah
urusan kami masing-masing selesai, kami jalan pulang.
Arah pulang
“ Basket yuk. “
“Ayuk”
Kata gue.
Akhirnya,
kita berdua jadi ke rumah gue untuk siap-siap. Rencana selanjutnya adalah, ke
rumah dia untuk siap-siap juga.
Sampe rumah
dia. Tepat banget dia ngecheck hape, ada telpon dari Joni.
“ Joni
nelpon.”
Gue
terdiam. Kaget, setengah mati. Fyi, temen
gue satu sekolah dan kebetulan, satu kelas dengan Joni. Hmmmmmmm
“
Kenapa ? “
Gak
lama, hape kawan gue diserbu telpon bertubi-tubi dari orang lain.
“ Gue
lupa. Ada janji, latihan band”
“
Astaga. Ada joni ?”
Intinya,
balasan dia adalah sadly, yes.
Janji
basket terpaksa cancel. Dalam perjalanan menuju studio, gue menemukan arti dagdigdug yang sesungguhnya.
Ketemu Joni. Itu adalah hal yang gue
pikirkan.
Sebetulnya,,
gue merasa enggak enak aja ketemu dia. Bukan gue benci. Beneran, gak ada unsur
negatif sama sekali di pikiran gue terhadap dia. Malah, gue takutin, dia benci
ama gue. Entah apa.
Kami
nyampe duluan. Mempersiapkan segala hal yang diperlukan. Dia yang notabene
seorang pemusik, aktif nyetem alat musik. Gue yang notabene seorang yang belom
move on, aktif menduga-duga kedatangannya. Aktif mempersiapkan diri untuk
kedatangannya.
Walaupun
studio kedap, entah kenapa, gue bisa merasakan orang di luar jalan. Gue selalu
khawatir, itu adalah Joni.
Ternyata
bukan.
Gak
lama, ketika ruangan mulai dingin.
Gue
melihat sosok Joni dari kaca. Dia liat gue, gue liat dia.
Kau masih sama, cantik seperti dulu.
Kawan
gue bukain pintu, ada jeda sedikit sebelum Joni masuk. Entah apa yang mereka
berdua lakukan. Joni masuk, temen gue si kampret keluar. Menyisahkan studio
kedap dalam hening.
“Hai
Alexxxx”
Gue ?
mau mati.
“Oh iya,
hai.”
Gue enggak
nyangka, dalam dua tahun, gue merasa keningnya membesar. Mengkilap. Selain kening, ada juga yang membesar. Hmm.
Gue gak
nyangka, dia bener-bener masih sama. Cakep, parah !
Gue gak
nyangka, dulu, dia selalu memberikan kebebasan bagi rambutnya untuk bersandar
di pundak. Sekarang, Joni lebih memilih menuntut rambutnya menjaga keseimbangan
satu-sama lain. Saling mengikat.
Gue gak
nyangka, setelah dua tahun lebih, gue masih belom move on.
Kata ‘hai’ setitik, rusak move on sebelanga.
Temen gue masuk. Dia yang
memang deket sama Joni, bisa langsung ngobrol. Meninggalkan gue sendirian.
Gak
lama, anggota band lain dateng. Ada tiga lagi yang datang, satu yang gue kenal.
Waktu terus berjalan, semua terkumpul, mereka latihan.
Gue
tepat ngemper di depan Joni. Sama
halnya seperti dulu, dia makin mahir bersama keyboard-piano nya. Sedangkan gue, mainkeyboard aja serign typo. Tuhkan,
typo.
Keningnya
yang mengkilap, rambutnya yang diikat, memberikan kesan bebas bagi siapapun
untuk menikmati wajahnya. Yah, gue berani nantang cowok manapun untuk berada di
posisi gue. Kalo enggak kagum, hebat.
Gue
minjem hape kawan gue, main game. Sebetulnya nggak, salah satu sarana gue aja
untuk gak ketauan-ketauan amat ngelirik Joni. Astaga.
Joni
yang sedikit-sedikit banyak nyanyi, berhasil banget nimpuk gue balik ke
belakang. Sesekali gue lihat matanya. Beda. Dulu, dia gak pernah biarin mata
gue sebelah tangan. Dia selalu membalas. Balasannya kini hilang.
Seiring
latihan, gak lupa, gak jarang Joni mengingatkan soal ketukan kepada rekan satu band. Gak jarang juga, Joni membawa gue
ke titik klimaks. Yang gue maksud adalah, momen klimaks di mana gue stop untuk
ngeliatin dia, ambil jeda, liatin lagi.
Gak
kuat aja.
Rekan
band nya, sesekali melakukan hal yang konyol. Membuat seisi studio tertawa. Gue
? gue ikut-ikut aja, lebihnya, gue hanya kangen, dan merasa bahagia aja, bisa
ngeliat Joni ketawa lepas. Suara ketawanya masih sama, banget.
Yang gue
tau, setelah kejadian dahulu, gue nggak pernah ngeliat dia ketawa lepas lagi.
Kemarin, gue dapet kesempatan itu.
Sekarang,
gue yakin, dia yang emang berbakat musik, udah hampir menguasai semua alat
musik. Terakhir yang gue tau, dia nggak bisa main gitar. Sekarang dia bisa.
Gue
ikut seneng.
Sesekali
kawan gue bilang bahwa dia nggak enak ama gue.
“Bosen
gak ?”
“nggak.”
Kata gue.
Sebetulnya
? Bosen. Cuma, kali itu mungkin adalah pertama kalinya, gue selalu ingin merasa
bosen. Gak pengen aja momen itu berakhir. But, kita semua tau, semua ada
limitnya.
Di
akhir latihan, ketika semua udah pada minta jemputan. Sambil nunggu, salinglah
tuker-tuker cerita. Sekolah gue gimana- sekolah mereka gimana.
Sesekali,
gue ngobrol ama dia.
Gak tau
apa yang dia rasain saat itu, tapi untuk gue, gue merasa seneng parah.
Semuanya
dijemput, sisah dia dan kawan gue.
Gak
lama, mobil yang memang udah gue curigai dari jauh tiba. Nyokapnya.
Kaca
kebuka,
“Darimana
Lex ?” Kata Nyokapnya.
“Tadi,
dari sekolah kok”
“oh
iya, duluan ya.”
“hati-hati.”
“Duluan
ya..” kata Joni. Entah ditujukan kepada siapa.
Gue
menyaksikan dia masuk mobil, gue sadar benar bahwa waktu-waktu itu akan segera
habis. Mobilnya perlahan menghilang. Menyisakan gue berdua. Entah, gue harus
benci atau terimakasih sama kawan gue. Terlebih, karena Tuhan, gue yakin, itu
adalah rencanaNya.
Sedih
ya, ketika hidup seseorang terus berjalan tapi kita nggak. Kita Cuma stuck di
satu titik. Di sisi lain, kita memang bangga dan perlu turut bahagia tapi di
hati yang lebih dalam, kita semua merasa sedih akan diri sendiri.
Contohnya,
Joni yang berhasil banget meneruskan hidupnya, dengan sama cowok-cowok baru,
temen-temen baru, hobi baru, hidup baru. Sedangkan gue, gini-gini aja, masih
stuck aja ama Joni.
Banyak
yang bilang, kenapa gue nggak bisa move on. Terus ngejudge bahwa gue nggak bisa
move on. Mereka salah. Gue nggak mau.
Gue
masih percaya dan sampai sekarang pun masih nikmatin kenikmatan yang dulu
bareng-bareng. Terlalu manis aja. Lagian, gue yang notabene belom move on
rela-rela aja kok kalo Joni ama cowk lain. Iya rela, iyah.
Gak nyangka,
udah dua tahun.
Oiya, selamat ulang tahun, madear.