Gue kini percaya bahwa kalimat “Maaf, Aku enggak mau, enggak boleh pacaran dulu…” adalah sebuah kalimat yang tidak lengkap. Sebenarnya, kalimat itu berkata “Maaf, Aku enggak mau, enggak boleh pacaran dulu… sama kamu.”
Ini adalah sebuah cerita tentang patah hati yang berulang. Cerita ini tentang dua dari sekian perempuan yang pernah gue cintai sepenuhnya, ini tentang Joni dan Lia.
Tulisan tentang Joni bisa dibaca di sini :
Corat - Coret AkatsukiTulisan tentang Lia memang tidak ada, bukan, bukan karena gue enggak pernah menulis tentang Lia, namun karena Lia tidak ingin tulisan tulisan sebelumnya dipublikasikan. Tapi karena gue adalah penulis yang baik, akan gue sederhanakan tentang kedua perempuan tersebut.
Joni
Joni adalah seorang wanita cantik (bukan pria) yang datang di hidup gue sebagai murid pindahan saat kenaikan kelas 8 SMP, sekitar tahun 2015. Joni, adalah wanita tercantik satu jagad SMP pada saat itu. Joni adalah perempuan yang selalu memastikan bahwa gue mendapatkan hadiah di hari ulang tahun, Joni adalah perempuan yang memastikan gue tidur yang cukup sebelum pertandingan basket. Kulit Joni putih, berambut panjang, handal bermain piano, bersuara merdu, dan wajah kirinya terdapat tato melingkari matanya serta pernah tercatat menggigit telinga salah satu petinju dunia hingga putus. (Maaf, kayaknya gue kecampur antara Joni dan Mike Tyson deh).
Lia
Lia adalah seorang perempuan yang cantik, putih, rambutnya jatuh lemas sebahu, berkacamata, wangi parfum seharga tiga juta. Adalah seseorang yang gue temui di masa gue kuliah, sekitar 2020. Kelahiran Jawa Tengah namun tumbuh dan besar di Jawa Timur. Pintar, suka Es Teh Leci dan semua menu Sec Bowl yang dimakan secara rutin sambil nonton series netflix di pagi hari atau malam sebelum tidur. Lia adalah wanita yang mampu banyak hal, salah satunya adalah menentukan outfit yang baik setiap harinya, pernah sempat sekali, Lia memberikan saran gaya fashion untuk gue. “Kamu harus beli baju Uniqlo Airism warna biru dongker”. Tanpa banyak basa - basi, gue percayakan penampilan gue pada sarannya Lia – Mungkin, mungkin kegantengan gue bertambah 15 persen – namun akibat baju itu gue harus puasa hampir dua hari. Sebuah transaksi yang tidak seberapa menguntungkan.
Sederhananya, Joni dan Lia adalah dua wanita yang pernah sangat gue cintai dalam dua waktu yang berbeda. Selalu asyik berbicara dengan mereka berdua. Pernah suatu saat waktu itu Sore - Sore ketika gue menemani Joni untuk menunggu jemputan sekolah, kita ngobrol tentang banyak hal, saking asiknya, ketika Joni dijemput tiba - tiba roda perekonomian Indonesia sudah maju, Indonesia sudah memenangkan dua piala dunia – ternyata sudah Indonesia Emas 2045.
Tapi yang ingin gue ceritakan dari mereka berdua adalah tentang apa yang terjadi setelahnya. Agar jelas, dari perspektif gue – Kami benar - benar menjalani hubungan. Namun Bagi mereka, gue bukan siapa - siapa. Gue paham.
Jadi, baik Lia maupun Joni memang tidak memiliki hubungan pacaran resmi di antara kami. Bukan, bukan karena gue cemen (dan laki - laki yang tidak bertanggung jawab). Tentu, gue mau aja pacaran. Namun, Joni dan Lia sempat mengatakan bahwa mereka tidak mau, ataupun boleh berpacaran. Harus fokus pendidikan dulu katanya. Itu, hanya untuk gue ketahui bahwa belakangan – Mereka jadian (berpacaran) dengan orang yang lain.
Sekitaran Juli hingga Desember 2015 – Joni
Joni dan gue, kami sudah dekat sekali. Gue tahu kedua orang tuanya. Dia tahu kesatu orang tua gue. Kita selalu menghabiskan waktu bareng di sekolah. Hari - hari kita, tidak pernah tidak bersama. Selalu. Bahkan selalu pergi bareng orang tuanya.
Di sekolah kita selalu berdiri bersama, di depan kelas 8A bersenderan di pagar menatap banyak mobil yang sedang parkir. Sepulang sekolah, kita menghabiskan malam telponan sampai waktu untuk siap - siap sekolah hampir tiba. Gue juga pernah beberapa kali datang ke rumahnya, bukan untuk memotong rumput di halaman rumahnya, namun untuk menghabiskan waktu bersama Joni.
Gue ingat betul, kita sama - sama sayang. Tidak hanya kita saling ucapkan, tapi semua orang tau bahwa kita memang bersama. Pada saat itu, dunia gue, hanyalah Joni dan Joni saja.
Namun di suatu saat di tengah hubungan menakjubkan itu, Joni tiba - tiba berubah. Belakangan gue ketahui bahwa Joni pada saat itu, telah menjalin hubungan sama kakak kelas. Kalo enggak salah, keturunan Thailand – Kelihatan dari warna kulit nya yang mirip Kuah Tom Yam. Kita sebut laki - laki ini sebagai Dum Dum – terinspirasi dari teh oranye itu.
Saat itu gue hancur, hancur sekali. Pada saat itu, datang ke sekolah adalah neraka. Karena gue terjebak di situasi yang memaksa gue untuk menyaksikan kemesraan Joni dan Dum-Dum. Gue inget banget, gue bilang ke mama gue :
“Alex nggak mau sekolah.”
“Enggak bisa, harus sekolah.”
Memang, Mama gue sedang mengajarkan ke gue arti kedisiplinan. Namun Ia tidak tahu, diam - diam, dunia anaknya sedang hancur tak bersisa.
ð“…®
Sekitar Desember 2015 – Study Tour – Joni
Sekolah gue pada saat itu melaksanakan agenda dua tahunan sekali, Study Tour. Saat itu kebetulan gue kelas 8 dan berangkat bareng senior kelas 9. Gue inget betul, Study Tour pada saat itu adalah topik yang terus dibicarakan – Joni saat masih bersama gue mengatakan bahwa dia nggak akan ikut Study Tour nanti karena sudah pernah mengikuti event serupa di sekolah sebelumnya. Hingga akhirnya, setelah dia bersama Dum - Dum, Joni ikut event itu.
Saat itu kami Study Tour ke Bali dan Malang.
Sisalah gue laki - laki 15 tahun yang merasa nafasnya sudah tidak panjang lagi, harus menyaksikan kemesraan antara Joni dan Dum - Dum di tempat - tempat romantis :
Di Bali, di Tanah Lot – mereka bermesraan dengan buat tato temporer couple. Sedangkan gue terpojok di bawah pohon sambil gigitin jagung bakar.
Di Jatim Park, mereka gendong - gendongan. Sedangkan gue sedang berusaha diselamatkan pihak medis agar tidak menjadi santapan hewan buas di sana. Menurut medis, detak Jantung gue menurun tiga poin setiap kali gue melihat kemesraan mereka.
Di Batu Night Spectacular, sebuah atraksi pasar malam di Malang, mereka bersenang - senang, tertawa seakan dunia berakhir besok. Bagi gue, dunia sudah berakhir malam itu.
ð“…®
Sekitar Desember 2021 – Lia
Semua hal menjadi semakin rekat antara gue dan Lia pada bulan Desember 2021. Satu tahun lalu. Kebersamaan yang awalnya adalah tuntutan pekerjaan, semakin menjadi - jadi hingga akhirnya kita menyatakan perasaan satu sama lain. Lia memberi gue bahagia yang tak ternilai besarnya. Gue berani tukar apapun kecuali harga diri gue (karena gue gapunya) untuk mengulang peristiwa itu semua.
Kita sama - sama menyatakan bahwa kita menemukan kebahagiaan di satu sama lainnya. Kita selalu makan bareng, nonton bareng, Lia juga sering tiba - tiba kirim video atau foto wajahnya yang manis, dan kita juga berbicara tentang apapun yang menyenangkan. Seringnya sih, tentang ketimpangan ekonomi antara Lia dan Gue. Lia tumbuh di keluarga yang berkecukupan, Ayahnya seorang direktur – Ibunya seorang Ibu rumah tangga. Sedangkan gue, Ayah gue adalah seorang Almarhum – Ibu gue adalah seorang tenaga pendidik yang termarjinalisasi. Uang sekolah Lia bisa mencapai ratusan juta satu tahunnya, sedangkan uang ratusan juta adalah nominal yang bahkan gue tidak pernah berani membayangkan.
Sampai akhirnya, sekitar dua-tiga bulan lalu, gue tahu bahwa Lia sedang dekat dengan laki - laki lain. Seorang kakak tingkat juga.
“Itu siapa” Tanya gue
“Temen” Jawab Lia
Lia awalnya menutupi sosok ini. Namun ia memang mengatakan bahwa Ia sedang menyukai laki - laki lain. Benar - benar, gue sedih sekali.
“Ada yang ngajak aku makan siang besok di Kantin Kampus, boleh?”
“Kalo aku bilang enggak, pun kamu juga akan pergi”
“Kalo kamu bilang enggak – Aku enggak pergi”
“Terserah”
Gue tidak ingat apakah Lia saat itu jadi benar - benar pergi makan siang atau tidak, seingat gue Iya.
Gue juga belakangan tahu bahwa selama ini Lia mengunggah banyak chat – chatan bersama cowok itu di story closefriend Instagramnya – yang ternyata, gue telah dikeluarkan dari urutan teman dekat nya.
“Kenapa aku dikeluarin dari Closefriend kamu?”
“Ya Karena aku tahu kamu enggak mau lihat”
Ya… Ya iya sih…
Kurang lebih dua minggu dari itu kami masih berhubungan meskipun semuanya terasa berbeda. Lia sudah tidak sama lagi. Belakangan, gue dapat kabar dari teman, bahwa Lia dan laki - laki itu telah resmi menjadi sepasang kekasih.
Seketika kepala gue dipenuhi dengan pertanyaan :
“Lia,,, Kenapa…”
“Bukannya kamu bilang enggak mau bahkan enggak boleh pacaran dulu…”
“Aku salah apa sama kamu…”
Pertanyaan itu membuat gue tetap terjaga semalaman. Sama sekali tidak bisa tidur. Kepala gue berperang hebat untuk mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Malam itu, atas patah hati yang luar biasa hebat, gue block semua yang ada antara gue dan Lia. Gue putuskan bahwa langkah itu, adalah langkah yang berat namun paling strategis untuk gue lakukan.
Gue lalu sadar, bahwa Lia bukannya engggak mau pacaran. Lia sebenarnya enggak mau pacaran sama gue. Masalahnya ada di gue, bukan di status pacaran itu sendiri. Cowok Lia sekarang, lebih ganteng, wangi, dan lebih bermasa depan ketimbang gue. Menyedihkan.
30 November 2022 – Lia
Hari itu terjadi pembantaian sadis bukan main di Malang. Korbannya bukan babi ngepet ataupun alumni G30S PKI. Yang terluka parah pada saat itu adalah hati seorang manusia (baca : hati gue). Pada 30 November 2022 – Kampus gue ada kunjungan ke landasan udara militer gitu di daerah sekitar Malang. Gue adalah salah satu dari sedikit mahasiswa yang oleh karena kewajiban, ikut pergi ke acara ini.
Sekitar jam 7 Pagi, gue sampai kampus tempat di mana kami semua bersiap - siap berangkat.
Sialnya gue harus kebingungan mencari rencana pelarian karena ternyata Lia dan Cowok barunya itu juga ikut. Gue hendak lari tidak jadi pergi – namun kedatangan gue sudah dilihat oleh salah satu dosen pengawas, jika menghilang tiba - tiba akan menimbulkan pertanyaan
“kemanakah perginya Alexander, mahasiswa ganteng, baik, dan pintar itu?”
lalu teman gue akan membela “Dia sudah pergi ke tempat yang lebih baik Pak”
“Meninggal maksudnya?”
“Iya Pak, hatinya terluka parah.”
“Semoga ia beristirahat dengan tenang.”
“Amin.”
“Amin.”
Lalu kunjungan ke landasan udara akan berubah ke acara pemakaman gue.
Gue juga sudah berpikir, bagaimana kalo gue beralasan bahwa gue sakit perut? Tapi kan mentok - mentok disuruh pup “yaudah tuh ada dedaunan dan pasir, silakan.”
Waktu yang mepet, akhirnya gue sudah tidak bisa mengelak lagi. Gue pergi ke acara sialan itu. Gue bergumam di dalam hati “Aku menyerah kali ini, akan aku kalahkan kau semesta di lain waktu!”
Di sana, selain mendapatkan materi, kami berkeliling hangar - hangar pesawat tempur milik TNI AU di mana kami bisa berkeliling, menikmati pesawat tempur dari dekat. Selain itu, kami juga dipersilahkan untuk mengambil foto duduk di dalam pesawat.
Orang - orang di sekitar ngajakin gue ini-itu foto dong, naik dong, tolong rekamin dong – terlihat mereka sangat excited dan bahagia. Gue benar - benar tidak merasakan kebahagiaan yang orang - orang itu rasakan. Di antara keramaian, mewahnya pesawat, gue hanya terfokus pada Lia dan Cowoknya yang menepi sendiri, memisahkan diri dari keramaian untuk menikmati semuanya berdua.
Mereka mengambil gambar, di atas pesawat tempur. Semacam konsep pre-wedding yang orang - orang idamkan. Satu hal lain adalah, ternyata informasi tentang hubungan Lia dan Cowoknya memang sudah kemana - mana. Ketika foto itu sedang diambil semua orang menyoraki – termasuk dosen - dosen.
“Cieeee - cieeeeeeee”
“Wahh pre wedd nihhh”
Gue hanya diam. Ada yang ngajak gue ngobrol, gue diam. Gue tidak bisa berkata - kata. Sampai akhirnya ada TNI teriak di kuping gue
“Mas Awas ini ada pesawat mau lewat – Mau tetep diem atau kuping mas non aktif dua minggu?”
Di depan moncong pesawat di mana Lia dan Cowoknya mengambil gambar, ada gue. Gue menyaksikan dengan mata kepala gue sendiri romantisnya mereka. Lia tidak pernah melihat ke arah gue lagi, seakan - akan, gue bukan siapa - siapa di hidupnya.
Kalo ibarat film Top Gun, mungkin Cowoknya Maverick dan Lia sebagai Penny Benjamin. Gue – gue sebagai cameo Top Gun yang tugasnya sebatas isi bahan bakar pesawat.
Gue saksikan juga mereka jalan berdua, tentu tertawa - tawa, bercerita ini itu. Gue hanya duduk dan mengamati dari jauh. Bahkan untuk menulis ini, dan mengingat - ngingat semuanya, adalah seperti memotong bawang – pedih sekali. (Ternyata jempol gue juga kepotong).
Lia terlihat bahagia sekali bersama laki - laki itu, pun laki - laki itu juga sudah sepantasnya berbahagia mendapatkan perempuan secantik Lia. Lalu tinggalah gue – tersenyum sekuat tenaga agar terlihat kuat, lalu menangis di perjalanan pulang karena tidak lagi tahan membohongi diri.
ð“…®
Masa Kini – Tentang Joni dan Lia
Gue enggak pernah menyangka, kejadian yang menimpa gue saat bersama Joni, harus terulang 7 tahun kemudian ketika gue bersama Lia.
Banyak kesamaan antara Joni dan Lia.
Bersama keduanya, gue enggak berpacaran sama mereka. Pun kita saling mengucap sayang – menjalani hari bersama - sama, mencari kebahagiaan satu sama lain, dan melakukan hal yang hanya kita yang tahu dan tidak untuk diceritakan ke banyak orang. Lalu dari sini, baik Joni dan Lia tiba - tiba dalam waktu dua minggu telah menjalin hubungan bersama laki - laki lain.
Keduanya sama - sama membela diri – “Kan kita enggak pernah pacaran.” – Ya Benar. Namun Aku kira, enggak pacarannya kita adalah mau kamu – tanpa aku sadari itu adalah langkah preventif untuk pergi ketika bosan. Keduanya juga tiba - tiba jadian sama kaka tingkat. Joni sama kaka kelas 9 dan Lia sama kaka tingkat semester ganjil atas. Keduanya juga membunuh gue melalui kemesraan mereka bersama - sama di tempat umum. Uniknya, semua ini terjadi di Malang. Ternyata, nasib gue juga Malang.
Sampai saat ini, gue hanya tidak pernah tahu, tidak pernah mendapatkan penjelasan, tidak pernah berhenti bertanya - tanya, kenapa mereka harus melakukan itu.
“Ya pada akhirnya setiap orang berhak bahagia. Itu jalan yang mereka pilih” Ucap teman ketika menasihati gue.
“Iya, tapi bagaimana tentang kebahagiaan gue?” Jawab gue lemas
“Ya lu harus cari kebahagiaan lu sendiri.”
“Tapi waktu itu, kita janji bahagia bareng - bareng.”
“Iya. Enggak semua janji ada untuk ditepati kan.”
Gue terdiam.
Joni dan Lia – kedua - duanya adalah wanita hebat yang mengisi hidup gue dengan patah hati terhebat pula. Kinerjanya magis. Tanpa banyak ini itu – di hidup gue, mereka adalah, manusia yang kapanpun kembali – akan gue terima.
Semoga kalian berbahagia, aku pun mau, semoga cepat aku temukan kebahagiaan tersebut. Atas semua kebahagiaan sementara dan kesedihan abadi ini, banyak pelajaran yang bisa gue petik. Joni dan Lia tidak pernah tahu sampai saat ini, tidak ada moment di mana gue tidak menangis mengingat semuanya – semoga mereka juga tidak pernah tahu lagi. Sedikit demi sedikit aku mengawasi kalian, memastikan kalian tetap ada di Bumi, semoga berbahagia selalu.
Walau pedih 'ku bersamamu kali ini
'Ku masih ingin melihatmu esok hari
Hindia - Evaluasi
ð“…®