(Cerita ini akan dilanjutkan pada postan mendatang (kalo gue enggak males))
Ini
adalah cerita saat gue masih SD. Tepatnya, kelas satu SD. Pertama kalinya, gue
suka sama cewek. Kelas satu SD. Namanya Aurelia. Cewek paling rajin satu jagad
Sekolah Dasar. Dia adalah tipe cewek yang selalu dibawakan bekal, botol minum Tupperware
mahal dan besar, dan dia adalah sosok cewek yang sebelum sampai di sekolah,
wajahnya dibedaki oleh Ibunya. Oh iya, dia juga adalah sosok cewek yang jika
sedang sekolah, Ibunya tetap menunggu kepulangannya. Itulah dia, Aurelia.
Lalu
ada gue, teman sebayanya, yang tidak pernah dibawakan bekal, enggak pernah bawa
botol minum ( bukan berarti gue minum air keran ), dan asap rokok adalah foundation
sekujur tubuh gue. Satu SD, juga bukan lagi moment di mana gue menjadi anak
yang dimanja, yang ditunggu kepulangannya oleh orang tua gue. Memang dulu, saat
di Taman Kanak – Kanak, gue selalu ditungguin oleh Ibu gue. Semua itu berubah saat di mana, TK,
gue berak di celana.
“Mamanya
Alexander, Mamanya Alexander tolong datang” Teriak Ibu Devi, Guru TK gue, ke suatu
arah tempat para Jeng sedang berkumpul.
Gue
? Gue di sebelah Ibu Devi dengan celana berlumuran benda cair berbau tidak
sedap. Gue sendiri enggak tahu apa yang baru saja gue konsumsi sehingga
menimbulkan bau tikus mati seperti itu.
Dari
kejauhan, gue melihat Ibu gue berangkat dari tempat duduknya
“Syukurlah”
Ucap gue dalam hati.
Ternyata,
Ibu gue, mengarah ke arah gerbang keluar sekolah dan bukan ke arah gue.
Saat
itu, gue patah hati. Tapi sekarang, gue paham, bahwa Ibu gue memang harus melakukan
itu. Ya, kabur demi menyelamatkan harga dirinya di antara Jeng – Jeng yang
lain.
Namun,
Ibarat insting seorang Ibu yang tidak akan pernah meninggalkan anaknya yang berlumuran
tinja, nyokap gue Kembali membawa celana seragam baru dari balik jok motornya.
Saat itu, gue berpikir
“Waw,
Ibuku adalah sosok yang mempersiapkan segalanya”
Namun,
sekarang gue jadi kepikiran, kenapa nyokap gue bisa – bisanya mempersiapkan
celana cadangan untuk anaknya? Apakah dia setidak percaya itu bahwa anaknya mampu
melewati hari – hari sekolah tanpa berlumuran tinja ? Tapi bagaimanapun juga,
tebakan Ibu gue saat itu, benar seratus persen.
Lalu
terjadi percakapan antara Ibu Devi dan Ibu gue.
“Aduh,
udah enggak apa – apa Ibu, Namanya juga anak kecil.” Ucap Ibu Devi menenangkan Ibu
gue yang saat itu martabatnya harus terserang di depan Ibu Ibu lainnya.
“Iya
Ibu aduh maaf banget ya ngerepotin. Iya ibu, si Alex masih kecil. Udah sini
gapapa biar saya aja yang bersihin Bu.” Bales Ibu gue.
Saat
itu gue terharu, nyokap gue mau melakukan semua itu demi gue.
“Udah
lex gapapa, ayo ke WC.” Dia berkata sambal tersenyum seolah – olah menutupi
sebuah kebenaran yang sudah lama ditutup – tutupi. Seolah – olah dia berkata
“Alex,
kamu Bego.”
Untungnya,
di saat itu, Aurel tidak ada di TKP (Tempat Kejadian Pemberakan).
Itulah gue, seorang laki – laki dengan intelegensi
selevel coklat coki - coki, menghabiskan banyak waktu di warnet, dan sama
sekali tidak terawat. Tapi itulah juga gue, sosok yang nekat bukan main, berani
menaruh hati untuk wanita selevel Aurel.
Gue
dan Aurel, kita bukanlah teman satu kelas. Hal ini tentu mempersulit gue untuk
bisa mencari perhatian dia dari dalam kelas. Satu, karena kita tidak di kelas
yang sama. Dua, karena gue tolol nan bego. Pernah sekali pada saat pelajaran
penunjukan jam, Ibu Uni ngasih gue replika jam,
“Alex,
coba tunjukin Ibu Pukul 10.15”
“Ibu,
waktu adalah hal yang fana, waktu bukanlah untuk ditunjukan, tetapi untuk
dijalani.”
Gak
lama, gue diusir.
~
Aurel
adalah sosok yang jika sekolah masuk jam sepuluh pagi, dia sudah siap di
sekolah sekitar jam delapan pagi. Tentu, karena dia akan menghabiskan waktunya
untuk belajar dan makan bersama Ibunya. Gue pun begitu. Jika sekolah masuk jam
satu siang, biasanya, gue udah siap sekitar jam sepuluh atau sebelas siang. Bukan.
Bukan untuk belajar. Tetapi untuk main benteng atau polisi-maling.
Dulu
gue adalah sosok yang terkenal sebagai ketua geng dalam dunia per-polisi
malingan. Karena pada saat itu, kemampuan lari gue adalah salah satu yang
tercepat ( Kemampuan ini gue dapatkan dari Latihan menghindari pukulan emak gue
di rumah). Begitu juga dengan Steve, dan Nugra, teman bermain gue saat itu.
Steve dikenal juga memiliki kemampuan lari yang cepat, sampai – sampai pernah terjadi
kecelakaan yang cukup mengenaskan yang melibatkan Steve dan Ibu – Ibu penjual bakso.
Pernah juga, dia lari nyeker dan dikejer rame – rame, sambil bawa ayam (belakangan
diketahui bahwa Steve memang nyuri ayam). Berbeda dengan Nugra, yang tidak
memiliki kemampuan lari yang cepat, tetapi, setiap dia lari, gerakan dia seperti
bebek. Jadi, kita selalu ajak dia main untuk jadi regu polisi. Biar jika
dikejar Nugra, ada sensasi – sensasi lagi dikejar hewan bermoncong panjang.
Ya.
melalui olahraga kasar seperti itulah, satu – satunya kesempatan gue untuk bisa
mencari perhatian Aurel. Pikiran Gue setiap kali berlari adalah berharap Aurel,
yang sedang membaca buku di taman sekolah, sesekali melihat gue yang sedang
dikejar oleh lebih dari satu orang dan tidak kena – kena. Lalu Aurel akan
berkata, “Hebat sekali Pria itu.”
Enggak
jarang, rute lari pun gue usahakan
sedemikian rupa lari ke sekitar tempat Aurel belajar. Biar dia menyadari
kehadiran gue. Pernah juga gue atur rencana bersama Steve.
“Steve,
gue mau lo jadi asisten gue kali ini.”
“Siap
Lex.”
“Gue
akan lari ke arah Aurel, dan lo akan kejer gue ke arah sana. Lo akan berusaha
ngejer gue, tapi enggak kena – kena. Kalo bisa di antara proses pengejaran itu,
lo selipkan kata – kata pujian untuk gue. Seperti “Alex udah ganteng kok larinya
kebut banget, Macho!” Seperti itu. Oke ?”
“Lex,
ini jijik. Tapi ok”
“Nanti
gue traktir Es Ibu Slamet di samping sekolah.”
“Deal.”
“Deal.”
Tak
lama kemudian, scenario mulai kami jalankan.
“Aurel
sudah berada di posisi” Kata gue.
“Oke.”
Gue
mulai lari sekenceng – kencengnya. Saat itu, potensi maksimal gue sebagai tukang
copet gue keluarkan demi mendapatkan perhatian Aurel. Steve, tidak lama mulai
mengejar ke arah gue. Melalui ujung bola mata gue, gue bisa sedikit melihat ke
arah belakang. Steve lari sekencang – kencangnya juga. Bedanya, kali ini dia
tidak berlari membawa ayam.
Seperti
yang gue bilang, Gue dan Steve adalah sosok yang terkenal karena punya kemampuan
lari paling cepat di antara yang lain. Ini adalah momen Langka, di mana kami
berdua masing – masing mengeluarkan potensi terbesar kami sebagai pencopet
bersamaan. Saat itu, semua mata tertuju pada kami berdua. Begitu juga dengan
Aurel. Saat itu gue seneng, rencana gue mulai mengindikasikan keberhasilan. Gue
dapet perhatian Aurel.
Saat
itu kami berdua lari, semakin dekat ke arah Aurel yang sedang belajar di bawah pohon
besar. Aurel melihat kami berdua berlari ke arahnya.
Tiba-
tiba,
“JDAKKKKKKKKK”
Steve
tidak sengaja terpleset plastik es ( yang gue curiga, bekas plastik es Ibu
Slamet samping sekolah). Steve tergeletak tidak berdaya di paving sekolah
gue. Untuk jatuh dalam kecepatan seperti itu gue khawatir Paru – paru Steve melorot ke
selangkangan dia. Steve sempat tidak bergerak untuk sesaat. Lalu akhirnya
terbangun. Mukanya hancur. Alisnya somplak, Idungnya bedarah, bibir pecah –
pecah, dan terlihat sedikit gejala gangguan kehamilan. Gue terdiam, Aurel
terdiam, teman – teman yang ikut bermain terdiam. Hanya suara Ibu – Ibu yang
teriak minta tolong yang mengisi keheningan.
Enggak
lama, si gila Steve, bangun dan melanjutkan proses pengejaran terhadap gue. Gue
hargai profesionalitas Steve. Namun yang lebih tololnya lagi, gue ikut dan
kabur lagi. Steve mengejar gue dengan wajah penuh darah. Saat itu, gue berasa
lagi dikejer boneka Chucky yang sudah akil balik. Saat itu semua orang langsung
teriak dari kejauhan,
“Udah
woi udah udah”
Akhirnya
kami berdua berhenti, Steve lalu dilarikan ke UKS sekolah.
Sisa
lah gue termenung. Dari jarak yang tidak seberapa jauh, gue melihat wajah Aurel
yang memberikan ekspresi kecut ke gue. Saat itu, rencana gue gagal total. Usaha
gue untuk terlihat keren sebagai laki – laki di mata Aurel, justru menjadikan
gue terlihat sebagai pembunuh bayaran.
Setelah
itu, orang – orang mulai kembali menata aktivitasnya. Teman – teman yang lain
pada udahan. Sepertinya karena trauma. Ibu – ibu kembali bergosip. Gue ? duduk
dan menyendiri, menyadari betapa hancurnya kesempatan gue membuat Aurel bangga
dengan keberadaan sosok laki – laki macho seperti gue.
Aurel
?
Dia
tiba – tiba hilang.