Tentang Fanny
Tulisan kali ini, adalah tentang perempuan bernama Fanny. Seorang wanita (yang tentunya) cantik, pintar, manis, tinggi dan bukan berkebangsaan Mexico – Ya Iyalah.
Gue dan Fanny dipertemukan atas dasar keinginan kami yang sama - sama ingin studi ke luar negeri. Kita datang ke event yang sama, lalu berkenalan, dan menjadi dekat (Maksudnya, gue lagi deketin dia).
Kita sebaya dan sama - sama tinggal di Surabaya saat ini. Gue fokus kuliah caranya kabur dari hukum, sedangkan Fanny belajar bagaimana olahan angka, huruf dan variable asing dapat membantu perkembangan dunia ini. Pun begitu, Kita tidak datang dari “Kampus” yang sama, membuat kami berdua tidak sering berjumpa.
Seperti biasa, Fanny, sosok yang gue taksir, adalah sosok yang secara logika manapun, tidak mungkin suka balik sama gue. Maksud gue, Dia cantik–Gue buruk rupa, Dia pinter-Gue juga sih (abaikan yang ini), Dia fluent bahasa Korea–Gue cuma tau 음경 (ini artinya titit, spesifik gue pelajari untuk ngatain temen gue yang perilakunya seperti kelamin), Dia Kaya–Gue… ah sudahlah.
Penting juga untuk digarisbawahi bahwa Fanny, rasa - rasanya, lebih tinggi dari gue. Beneran. Pun kalo tinggi kita sama, tetep aja, ini akan berdampak buruk bagi image gue ketika pergi bareng Fanny, orang - orang di Mall akan mengatakan :
“Malang sekali perempuan itu, berjalan bersama copet.”
Atau mungkin ada skenario di mana kita makan bareng di Marugame, menimbulkan persepsi :
“Lihat, baik sekali majikan itu, pembantunya pun diberikan makan, meskipun cuma kriuk - kriuknya saja”.
Tapi di antara semua langit-bumi di atas, ada beberapa hal yang penting, yang membuat gue, tetap suka sama Fanny – dan akan terus memperjuangkan hatinya.
Pertama, Fanny cantik banget, rambutnya wangi es coklat, kalungnya membuat Fanny terlihat lebih anggun, juga cincinnya yang gue rasa cukup untuk membiayai hidup gue tiga bulan.
Kedua, Gue sama Fanny punya keinginan yang sama untuk belajar ke luar negeri. Kita sudah berencana untuk bersama - sama mendaftar dan mengurus administrasi ke beberapa beasiswa yang ada. Hal ini penting, setidaknya gue tahu, Fanny adalah sosok yang pintar dan ambisius, punya mimpi, sama seperti gue.
Ketiga, Gue dan Fanny sama - sama punya minat yang sama. Fanny suka basket, gue juga. Fanny bukan pemain, Fanny lebih suka nonton (Dulu SMA jadi dancer di UBS Gold DBL itu loh!), Gue, meskipun suka main, tapi keterbatasan skill sering kali menjadi penghambat kerennya gue di lapangan. Tapi initnya, ya gitu ! kita sama - sama suka basket, nggak cuma dari permainan, tapi kita juga sama sama suka analisis yang terjadi di luar lapangan dan bagaimana sport industry harusnya bisa lebih integrated ke dunia pendidikan, misalnya dalam penghargaan lebih terhadap student-athlete di sekolah - sekolah Indonesia. Bagian ini harus gue hentikan, sebelum tulisan ini menjadi artikel ilmiah.
Keempat, Kelima, Keenam, dan seterusnya, adalah alasan - alasan yang gue temukan secara sengaja maupun tidak, yang pada intinya, gue suka sama Fanny tanpa ada alasan yang berbelit, dan memang, sesederhana, gue suka sama Fanny aja.
Yang sudah - sudah bersama Fanny
Nah, sejauh ini, usaha gue untuk mendekati Fanny sedang berada di fase yang membingungkan. Gini, gini…
Gue sudah berhubungan dengan Fanny (hampir setiap hari), enggak cuma dalam bentuk text, tapi biasanya juga, kami telepon suara ataupun telepon video. Biasanya sih, dilakukan ketika Fanny lagi nyetir pulang ke rumahnya yang jarak nya satu jam dari kampus. Lucu ya? Romantis ya? Semoga Iya :D
Tentu, bagi gue, satu jam telepon sama Fanny adalah pembangkit hari - hari yang berat. Biasanya sore - sore, hari yang letih dan menyebalkan, tiba - tiba, secara magis, hilang ketika gue denger suara Fanny.
Apalagi saat itu, ketika di awal - awal telepon, gue memberanikan diri bertanya ke Fanny ketika ia hampir tiba di tujuannya :
“Aku udah mau sampe nih, udahan dulu ya.”
“Hmm.. boleh gak kalo aku liat kamu dulu” (Ini jantung gue udah deg - degan)
“Video Call maksudnya?”
“Iya…” (Sudah pipis sedikit)
“Boleh kok, video call aja”
Duarrrrrrr, hati gue, joged poco - poco.
*Video Call
“Rambut kamu bagus banget hari ini” (Ya ini gue yang ngomong dong, masa iya dia Muji rambut gue yang bau busuk ini)
“Hah apaan si, tiap hari juga kayak gini”
“Iya berarti kan rambut kamu bagus tiap hari.”
Aldkjsalkdjaskldjaskldjasldkjsaasdlkjasldksadjsa
Pembicaraan telepon itu akan gue hentikan sampai di situ, sebelum sifat kebuayaan dan kereptiliaan gue serta trik trik gue lainnya terbongkar hehe.
Tapi gitu, kita udah beberapa kali telpon.
Selain itu, kami juga sudah dua kali meet up. Yang pertama, gue dateng ke kampusnya setelah Fanny selesai kelas. Sore - sore, kita makan bareng sambil jalan - jalan, Fanny ngajak gue keliling kampusnya yang jauh lebih besar dari kampus gue. Pertemuan kedua, kita sama - sama makan di restoran burger, Dia duduk sebelah gue. Dia juga cicip burger pesenan gue.
Nah, hal - hal kecil seperti ini, yang gue anggap magis dan luar biasa. Bagi Fanny, mungkin, hal sederhana tersebut bukan apa - apa, hal lumrah yang dilakukan oleh sepasang teman. Bagi gue, tentunya tidak. Pulang dari restoran burger itu, kepala gue dipenuhi oleh Fanny. Cantiknya dia hari itu, sepatu hitam-abu-oranye nya, dan pembicaraan kita waktu itu, yang semakin membuat gue yakin bahwa gue sedang tidak mencintai orang yang salah.
Jujur, gue juga belum tahu apakah gue mencintai Fanny, tentu bukan karena gue enggak tertarik sama Fanny (justru suka banget), tapi ya karena gue paham, bahwa Gue maupun Fannny, butuh waktu untuk menumbuhkan persaaan itu. Tapi yang pasti saat ini, gue ingin hari - hari gue bersama Fanny.
Selain itu, kami juga ada membuat janji untuk nonton bisokop bareng ketika waktu memungkinkan. (Kalo beneran kejadian, ataupun enggak, akan gue ceritakan di sini hehe). Gue harap, tentunya, jadi.
Nah, semua hal ini tentu memberikan kesan bahwa, wahhhh Zayn Malik (Gue) udah sama Fanny nih. Jawabannya, jujur, belum (dan bisa jadi enggak). Karena, terlepas dari apa yang gue dan Fanny telah lewati, Fanny adalah sosok yang dingin di chat.
Fanny balas gue, most of the time, pendek - pendek, sepatah dua patah kata, gak jarang juga banyak bubble chat gue yang terlewatkan. Selain itu, kadang gue temukan bahwa Fanny sedang online, tapi tidak membalas. Fanny pun, rasanya, menghindari pembicaraan - pembicaraan yang memungkinkan kita bisa bersama. Fanny pun, tidak pernah membalas pesan yang gue kirim di tempat lain (Misalnya gue kirim postingan Instagram yang lucu)
Jujur, gue enggak benar - benar tahu apa yang ada di dalam hati Fanny. Bisa jadi, semua skenario ini adalah halusinasi gue, yang mungkin, secara fakta memang benar terjadi – tapi sebenarnya tidak ada apa - apa di dalamnya. Senyum – senyum sendirinya gue tiap kali setelah telepon atau bertemu sama Fanny, bisa jadi, hanya gue yang merasakan.
Fanny adalah sosok yang membingungkan, pun begitu, akan gue kejar terus, beratnya, ringannya, senangnya serta sedihnya, juga dinginnya, adalah apa yang membuat seorang Fanny, ya seorang Fanny.
Mungkin dia suka, mungkin juga enggak, tapi yang penting, Fanny saat ini, belum meminta gue untuk berhenti. Atas dasar sedikit kepercayaan dan Iman seadanya ini, gue berjalan.
Fanny, seharusnya, enggak tahu gue menulis ini. Gue juga enggak ada rencana jauh - jauh hari ingin menulis ini, tapi ya here I am. Karena galau dan bertanya - tanya, apa yang sebenarnya terjadi.
Yang jika benar, apa yang terjadi di antara kita adalah benar adanya, dan kamu pun merasakan yang sama, harus kuakui, hal tersebut adalah fenomena yang mendekati keajaiban. Melihatmu dari apa yang tampak oleh mata menghasilkan perasaan yang turun ke hati, lalu dari situ, aku harap, tidak kembali naik menjadi air mata. Aku akan usahakan kamu, jika ada yang membuatmu tidak nyaman, mohon diberitahu.
0 Saran:
Post a Comment